ALASAN MUHAMMADIYAH ISTIQOMAH DENGAN METHODE HISAB HAKIKI PADA PENENTUAN
1 RAMADHAN, 1 SYAWAL DAN 1 DZULHIJAH
Oleh : Drs. H. Tadjuddin Noor, SH,
MH.Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Kalsel
Argumen Muhammadiyah dalam berpegang
kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan
hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut
perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa
matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau
diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya.
Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi
bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua,jika spirit Qur’an adalah hisab,
mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa
Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat
perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi,
tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan
oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan
hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh
sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku
menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga
tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan
jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku
lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya,
melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al
Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk
menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat
di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga,dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender.
Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa
diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat
Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas.
Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu
sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat,rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara
global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan
Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas
pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi
yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60
derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk
beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan
telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang
pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada
musimdingin melebihi 24 jam.
Kelima,jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan
ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu
rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam.
Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan
awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang,
ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka
rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini
bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi
telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam
ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam,rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa
terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat
sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum.
Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam
memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan
ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah
jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat
itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah
terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau
balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan
bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan
komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat
Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan
pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul
seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar
II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani
li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan
dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan:
“Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan
problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin
dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal
bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu
shalat.”
Sebagaimana diketahui pada garis
besarnya sistem penetapan awal bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru'yah.
Kedua sistem ini bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang
penentuan awal bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
Ru'yatuI
hilalyang dalam
istilah astronomi disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan dan
awal bulan Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Berpuasalah
kamu ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika
melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu sempurnakan
bulan Sya'ban tiga puluh hari. (hadis ru'yah, dalam Kitab Shahihul al-Bukhari,
hadis yang ke-940). Menurut prinsip ru'yat penentuan awal bulan harus
dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal) di
atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika
hilal tidak berhasil dilihat karena mendung atau tertutup awan maka harus
diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru'yah berasal dari akar kata ra'a yang
artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana di zaman Rasulullah Saw. Jadi
golongan ahli ru'yah ini berpatokan kalau sudah melihat bulan sabit (baru),
baru hidup bulan (datang bulan baru). Kalau tidak melihat bulan karena mendung
atau tertutup awan maka bulan masih belum hidup (masih tanggal 30), sehingga
tanggal satu bulan baru pada besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari
kalangan mazhab Syafi'i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah
juz ke IIIhal 374 yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru'yatul
hilal yang terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal
walaupun bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk
bulan baru.
Sistem hisab menurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian
Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab yang dipakai
Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan
baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi
tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima', ijtima' itu terjadi
sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas
ufuk.”
Pada prinsipnya hisab berdasarkan
sistem ijtima, yaitu antara bumi dan bulan berada pada satu garis lurus
astronomi. Bulan menyelesaikan satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu
29 hari 44 menit 27 detik atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah
matahari terbenam pada hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30
(bulan baru belum wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam
hari yang 29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini
berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :
Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang Mengetahui.
Dalam hadis
Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya:
Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka Kamu janganlah berpuasa
sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum melihat
buln. Jika mendung maka kadarkanlah
Para ulama berbeda pendapat tentang
arti kata-kata "kadarkanlah". Ada yang menafsirkan
sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat arti "kadarkanlah"
tersebut adalah "fa'udduhu bil hisab" artinya kadarkanlah
dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam kitabnya Bidayalul
Mujtahid. Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang
dimaksud "kadarkanlah" ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama
Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III hal. 148
menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang mempercayainya wajib
berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula kalau ada orang yang mengaku telah
melihat bulan padahal menurut perhitungan hisab bulan belum terwujud maka
kesaksian ituditolak (Tuhfah Juz IIIhal. 382). Aliran baru Imam Qalyubi
menjelaskan ada 10 pengertian yang dikandung dalam hadis shumu liru'yatihi,
diantaranya adalah ru'yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat ahli
hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi Juz II hal
49), jadi ru'yah tidak mesti dengan mata telanjang.
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem
hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh
persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan
sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang
dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam
penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang
tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian
dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan
awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah
harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan
pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal
bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya
memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar
Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah riwayat Bukhari.
Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak
dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah
hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan
alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah
tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan,
matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul
ma'naartinya dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan
melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua
sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknva
dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka hadis tersebut akan
terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman
nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak
dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku
dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi,
misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern
tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai
dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up
to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah
dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal.
Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah
melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa
ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum".
Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama
sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi
umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya,
makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri
sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua
menjadi maklum.